Pemberadaban Indonesia Wilayah Timur yang “Kanak-Kanak” dalam Film Batas dan di Timur Matahari

Penulis

  • Gusnita Linda IT Telkom Purwokerto
  • Ajeng Tita Negoro Desain Komunikasi Visual, Fakultas Rekayasa Industri dan Desain, IT Telkom Purwokerto, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.51804/ijsd.v5i1.2050

Kata Kunci:

liyan, pe-liyan-an, pemberadaban, pascakolonial, narasi film, analisis film

Abstrak

Geliat sinema Indonesia setelah Orde Baru mulai memperhatikan sisi lain kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak lagi melulu mengenai kaum urban dan hingar bingar orang kota kelas menengah. Beragam isu mulai dihadirkan oleh film bertema Indonesia bagian Timur, seperti pendidikan, kehadiran orang kota sebagai solusi dalam penyelesaian masalah yang diangkat, stereotipe masyarakat lokal, terutama dalam pembandingannya dengan perempuan kota. Dalam pengkajian ini berfokus pada dua film yaitu, film Batas yang berlatar di Entikong dan film Di Timur Matahari yang berlatar di Papua. Dua desa yang secara teritori berbeda, namun sama-sama terletak di wilayah Indonesia bagian Timur ternyata mempunyai permasalahan yang sama. Analisis film ini menggunakan teori narasi film Christian Metz untuk kemudian melihat wacana yang dihadirkan dengan menggunakan kacamata studi Pascakolonial berupa pe-liyan-an (Otherness) Mohanty dan hubungannya dengan persoalan bagaimana perempuan di dunia ketiga dibicarakan/dihadirkan melalui dua film yang diteliti. Dari hasil analisis pembabakan kedua film tersebut terdapat alur dan penceritaan yang memiliki kesamaan. Eksotisme dua desa dibangun atas kemiskinan, rendahnya perhatian negara terhadap pembangunan, pendidikan, serta keamanan. Identitas lokal dimaknai sebagai sesuatu yang selain eksotis, mistis, juga ‘tradisional’, tertinggal dan bahkan cendrung primitif. Kemudian adanya kecenderungan mengkonstruksi Other (perempuan Indonesia di kawasan Timur oleh Perempuan Kota (Jakarta). Dua film ini mengafirmasi asumsi dan pelabelan bahwa perempuan di kawasan tersebut sebagai lemah, tertindas, tidak terpelajar, dan harus ‘dicerahkan’ serta ‘diberdayakan,’ sehingga harus diberi bantuan dan dilindungi.

Unduhan

Data unduhan belum tersedia.

Referensi

Andaresta, L. (2022). Selain Mencuri Raden Saleh, Ini 5 Film Terbaik Garapan Angga Dwimas Sasongko. Hypeabis.Id. https://hypeabis.id/read/15954/selain-mencuri-raden-saleh-ini-5-film-terbaik-garapan-angga-dwimas-sasongko

McLuhan, M. (1964). The Medium is the Message. In Understanding Media: The Extensions of Man. McGraw-Hill.

Mohanty, C. T. (1984). Under Western Eyes: Feminist Sholarship and Colonial Discourses. In On Humanism and the University I: The Discourse of Humanism: Vol. Vol. 12, n. Duke University Press. https://www.jstor.org/stable/i213373

Pusat, P. (2008). UU No. 5 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Lanny Jaya Di Provinsi Papua [JDIH BPK RI]. Pemerintah Pusat. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38869

Said, E. (2010). Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Pustaka Pelajar.

Santoso, V. (2017). Kapital dan Strategi Garin Nugroho dalam Proses Produksi Film. Journal of Urban Society’s Arts, 4(1), 11–18. https://doi.org/10.24821/JOUSA.V4I1.1492

Setyaningsih, F. D. (2019). Makna Simbolis Ekspresi Budaya dalam Film "Denias Senandung di Atas Awan”. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan Missio, 11(2), 254–269. http://unikastpaulus.ac.id/jurnal/index.php/jpkm/article/view/158

Stam, R. (1992). New Vocabularies in Film Semiotic: Structuralism, Post-Strukturalism, and Beyond. Routledge.

Diterbitkan

2023-01-22

Terbitan

Bagian

Articles